Selasa, 24 Desember 2013

Inventarisasi Pendapat: Prinsip Non Refoulement Sebagai Jus Cogens



Prinsip Non Refoulement Sebagai Jus Cogens
Oleh: Wagiman
Jus cogens dalam hukum internasional masih menjadi perdebatan. Sulit untuk menentukan faktor-faktor apa saja yang dapat menjadikan sebuah prinsip dalam hukum internasional menjadi sebuah jus cogens. Ketika sebuah prinsip dalam hukum internasional telah mencapai derajat jus cogens, maka prinsip tersebut tidak dapat dikecualikan dalam keadaan apapun. Misalnya, Prinsip non intervensi menurut sebagian pendapat ahli telah sampai pada tahap peremptory norm (jus cogens).Artikel ini merupakan hasil inventariasi pendapat yang menyetujui bahwa Prinsip Non-Refoulement dikategorikan sebagai jus cogens.

Sigit Riyanto: Prinsip non-refoulement berisi larangan mengembalikan pengungsi dengan cara apapun ke negara atau wilayah dimana hidup atau kebebasannya terancam dikarenakan ras, agama, kebangsaan, keanggotaan dalam kelompok sosial tertentu atau pendapat politiknya. Terdapat dua alasan Prinsip non-refoulement dapat dikategorikan sebagai jus cogens dengan merujuk pada Pasal 53 Konvensi Pengungsi 1951. Pertama, diterima dan diakui oleh masyarakat internasional secara keseluruhan. Kedua, tidak boleh dikesampingkan.[1]

Aryuni Yuliantiningsih: Prinsip non refoulement diatur dalam Pasal 33 Konvensi Pengungsi 1951 yang menyatakan bahwa tidak satu pun dari negara-negara yang mengadakan perjanjian akan mengusir atau mengembalikan seorang pengungsi dengan cara apapun ke perbatasan wilayah-wilayah di mana kehidupan atau kebebasanya akan terancam oleh karena suku, agama, kebangsaan keanggotaan pada kelompok sosial tertentu atau pendapat politiknya. Prinsip ini termasuk salah satu norma jus cogens karena merupakan bagian dari hukum kebiasaan internasional yang mengikat semua negara baik itu anggota Konvensi 1951 maupun bukan anggota.[2]

Kadarudin: Prinsip non refoulement selain sebagai peremptory norm atau jus cogens dan hukum kebiasaan internasional, prinsip non refoulement juga telah menjadi norma erga omnes.[3]

Jun Justinar: Non-refoulement termasuk jus cogens serta peremptory norm sehingga mengikat pula negara-negara bukan pihak pada Konvensi 1951.[4]

Atik Krustiyati: Demikian pentingnya prinsip non-refoulement, sehingga harus dihormati sebagai jus cogens dalam hukum internasional.[5]

Titik Juniati Ismaniar dan Gede Marhaendra Wija Atmadja berpendapat bahwa Prinsip non refoulement oleh beberapa ahli hukum internasional dikategorikan sebagai ius cogens, dimana ius cogens dapat diartikan sebagai suatu norma dasar hukum internasional.[6]

Jeremia Suluh Kaos Tampubolon, Abdul Rahman, dan Chairul Bariah; berpendapat bahwa  Konvensi Pengungsi 1951 juga memasukkan prinsip non-refoulement dalam Pasal 33 (1), dimana negara tidak diperbolehkan untuk mengusir ataupun mengembalikan pengungsi dengan cara apapun ke perbatasan wilayah-wilayah dimana kehidupan atau kebebasanya akan terancam karena ras, agama, keanggotaan pada kelompok sosial tertentu atau karena opini politiknya. Prinsip ini sering kali dinamakan jantung perlindungan internasional bagi pengungsi, dan merupakan bagian dari HAM sehingga harus diterima dan dihormati sebagai ius cogens dalam Hukum Internasional. Sehingga yang negara yang belum menjadi peserta Konvensi 1951 pun harus menghormati prinsip ini.[7]



[1]Sigit Riyanto, Prinsip Non-Refoulement dan Relevansinya Dalam Sistem Hukum Internasional, artikel dimuat dalam Jurnal “Mimbar Hukum”, Vol.22, No.3, Oktober 2010, hlm.441. Dr. Sigit Riyanto, S.H., LL.M adalah dosen pada Fakultas Hukum Gajah Mada (UGM). 
[2]Aryuni Yuliantiningsih, Perlindungan Pengungsi dalam Perspektif Hukum Internasional dan Hukum Islam (Studi Terhadap Kasus Manusia Perahu Rohingya), Jurnal "Dinamika Hukum", Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, Vol. 13., No.1, Januari 2013, hlm.161. Aryuni Yuliantiningsih, SH.,MH, Sekretaris Bagian Hukum Internasional, Fakultas Hukum Universitas Universitas Jenderal Soedirman.
[3]Kadarudin, Hubungan Indonesia Dengan Prinsip Non Refoulement Dalam Perspektif Hukum Internasional, artikel dimuat dalam Jurnal Ilmu Hukum "Amanna Gappa" Fakultas Hukum Universitas Hasanudin, Vol. 20, No., Juni 2012, hlm.138. Lihat juga, Kadarudin, Hubungan Pengungsi dan Prinsip Non Refoulement (Suatu Kajian Hukum Pengungsi Internasional), artikel dimuat dalam Jurnal Hukum Internasional “Jurishdictionary”, Bagian Hukum Internasional, Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Vol.VII., No. 1, Juni 2011, hlm. Kadarudin, S.H., M.H., DFM., Fakultas Hukum Universitas Universitas Hasanudin (Unhas). Ia  saat ini menjadi Ketua Pusat Studi Hak Asasi Manusia (PusHAM) Unhas.
[4]Jun Justinar, Prinsip Non-Refoulement dan Penerapannya di Indonesia, artikel dimuat dalam Jurnal “Opini Juris”, Vol. 3, September-Desember, Tahun 2011, hlm.18. Jun Justinar, menempuh pendidikan Sarjana di Fakultas Hukum Undip dan lulus pada tahun 1993. Melanjutkan pendidikan S2 di Magister Hukum Untar dan lulus pada tahun 2004. Menjadi Dosen Tetap di Fakultas Hukum Trisakti sejak tahun 1995 untuk mata kuliah Hukum Internasional, Hukum Pengungsi Internasional, Hukum Diplomatik dan Konsuler, Hukum Humaniter dan Hubungan Internasional.
[5]Atik Krustiyati, Kebijakan Penanganan Pengungsi di Indonesia: Kajian dari Konvensi Pengungsi Tahun 1951 dan Protokol 1967, artikel dimuat dalam Jurnal “Law Review”, Vol.XII, No.2, November 2012, hlm.182. Dr. Atik Krustiyati, SH., MS. adalah dosen Hukum Internasional, Fakultas Hukum Universitas Surabaya (Ubaya).
[6]Titik Juniati Ismaniar dan Gede Marhaendra Wija Atmadja, Penerapan “Prinsip Non Refoulement” Terhadap Pengungsi Dalam Negara yang Bukan Merupakan Peserta Konvensi Mengenai Status Pengungsi Tahun 1951, Bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Udayana, hlm.4.
[7]Jeremia Suluh Kaos Tampubolon, Abdul Rahman, dan Chairul Bariah, Perlindungan dan Penegakan HAM di ASEAN Terhadap Manusia Perahu Rohingya Dalam Status Sebagai Pengungsi Menurut Hukum Internasional, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, hlm.16.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar