Prinsip Non
Refoulement Sebagai Jus Cogens
Oleh: Wagiman
Jus cogens
dalam hukum internasional masih menjadi perdebatan. Sulit untuk menentukan
faktor-faktor apa saja yang dapat menjadikan sebuah prinsip dalam hukum
internasional menjadi sebuah jus cogens.
Ketika sebuah prinsip dalam hukum internasional telah mencapai derajat jus cogens, maka prinsip tersebut tidak
dapat dikecualikan dalam keadaan apapun. Misalnya, Prinsip non intervensi
menurut sebagian pendapat ahli telah sampai pada tahap peremptory norm (jus cogens).Artikel ini merupakan hasil inventariasi pendapat yang menyetujui bahwa Prinsip Non-Refoulement dikategorikan sebagai jus cogens.
Sigit Riyanto:
Prinsip non-refoulement berisi larangan
mengembalikan pengungsi dengan cara apapun ke negara atau wilayah dimana hidup
atau kebebasannya terancam dikarenakan ras, agama, kebangsaan, keanggotaan
dalam kelompok sosial tertentu atau pendapat politiknya. Terdapat dua
alasan Prinsip non-refoulement dapat
dikategorikan sebagai jus cogens dengan
merujuk pada Pasal 53 Konvensi Pengungsi 1951. Pertama, diterima dan diakui
oleh masyarakat internasional secara keseluruhan. Kedua, tidak boleh
dikesampingkan.[1]
Aryuni
Yuliantiningsih:
Prinsip non refoulement diatur dalam
Pasal 33 Konvensi Pengungsi 1951 yang menyatakan bahwa tidak satu pun dari
negara-negara yang mengadakan perjanjian akan mengusir atau mengembalikan seorang
pengungsi dengan cara apapun ke perbatasan wilayah-wilayah di mana kehidupan
atau kebebasanya akan terancam oleh karena suku, agama, kebangsaan keanggotaan
pada kelompok sosial tertentu atau pendapat politiknya. Prinsip ini termasuk
salah satu norma jus cogens karena
merupakan bagian dari hukum kebiasaan internasional yang mengikat semua negara
baik itu anggota Konvensi 1951 maupun bukan anggota.[2]
Kadarudin: Prinsip non refoulement selain sebagai peremptory norm atau jus cogens dan hukum kebiasaan
internasional, prinsip non refoulement juga telah menjadi norma erga omnes.[3]
Jun Justinar: Non-refoulement termasuk jus cogens serta peremptory
norm sehingga mengikat pula negara-negara bukan pihak pada Konvensi 1951.[4]
Atik Krustiyati: Demikian pentingnya prinsip
non-refoulement, sehingga harus dihormati sebagai jus cogens dalam hukum internasional.[5]
Titik Juniati
Ismaniar dan Gede Marhaendra Wija Atmadja berpendapat
bahwa Prinsip non refoulement oleh
beberapa ahli hukum internasional dikategorikan sebagai ius cogens, dimana ius cogens
dapat diartikan sebagai suatu norma dasar hukum internasional.[6]
Jeremia Suluh Kaos Tampubolon, Abdul Rahman, dan Chairul
Bariah;
berpendapat bahwa Konvensi Pengungsi
1951 juga memasukkan prinsip non-refoulement dalam Pasal 33 (1), dimana negara
tidak diperbolehkan untuk mengusir ataupun mengembalikan pengungsi dengan cara
apapun ke perbatasan wilayah-wilayah dimana kehidupan atau kebebasanya akan
terancam karena ras, agama, keanggotaan pada kelompok sosial tertentu atau
karena opini politiknya. Prinsip ini sering kali dinamakan jantung perlindungan
internasional bagi pengungsi, dan merupakan bagian dari HAM sehingga harus
diterima dan dihormati sebagai ius cogens dalam Hukum Internasional. Sehingga
yang negara yang belum menjadi peserta Konvensi 1951 pun harus menghormati
prinsip ini.[7]
[1]Sigit Riyanto, Prinsip Non-Refoulement dan Relevansinya
Dalam Sistem Hukum Internasional, artikel dimuat dalam Jurnal “Mimbar Hukum”,
Vol.22, No.3, Oktober 2010, hlm.441. Dr. Sigit Riyanto, S.H., LL.M adalah dosen pada Fakultas
Hukum Gajah Mada (UGM).
[2]Aryuni
Yuliantiningsih, Perlindungan Pengungsi dalam
Perspektif Hukum Internasional dan Hukum Islam (Studi Terhadap Kasus Manusia
Perahu Rohingya), Jurnal "Dinamika Hukum", Fakultas Hukum Universitas
Jenderal Soedirman, Vol. 13., No.1, Januari 2013, hlm.161. Aryuni Yuliantiningsih, SH.,MH, Sekretaris Bagian Hukum Internasional,
Fakultas Hukum Universitas Universitas
Jenderal Soedirman.
[3]Kadarudin, Hubungan Indonesia Dengan Prinsip Non Refoulement
Dalam Perspektif Hukum Internasional, artikel dimuat dalam Jurnal Ilmu Hukum "Amanna Gappa" Fakultas Hukum Universitas Hasanudin, Vol. 20, No., Juni 2012,
hlm.138. Lihat juga, Kadarudin, Hubungan Pengungsi dan Prinsip Non Refoulement (Suatu Kajian Hukum
Pengungsi Internasional), artikel dimuat dalam Jurnal Hukum Internasional “Jurishdictionary”, Bagian
Hukum Internasional, Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Vol.VII., No. 1,
Juni 2011, hlm. Kadarudin,
S.H., M.H., DFM., Fakultas Hukum Universitas Universitas Hasanudin
(Unhas). Ia saat ini menjadi Ketua Pusat Studi Hak Asasi Manusia (PusHAM)
Unhas.
[4]Jun Justinar, Prinsip Non-Refoulement dan Penerapannya di
Indonesia,
artikel dimuat dalam Jurnal “Opini Juris”, Vol. 3, September-Desember, Tahun
2011, hlm.18. Jun
Justinar, menempuh pendidikan Sarjana
di Fakultas Hukum Undip dan lulus pada tahun 1993. Melanjutkan pendidikan S2 di
Magister Hukum Untar dan lulus pada tahun 2004. Menjadi Dosen Tetap di Fakultas
Hukum Trisakti sejak tahun 1995 untuk mata kuliah Hukum Internasional, Hukum
Pengungsi Internasional, Hukum Diplomatik dan Konsuler, Hukum Humaniter dan
Hubungan Internasional.
[5]Atik Krustiyati,
Kebijakan Penanganan Pengungsi di Indonesia: Kajian dari Konvensi Pengungsi Tahun
1951 dan Protokol 1967, artikel dimuat dalam Jurnal “Law Review”, Vol.XII,
No.2, November 2012, hlm.182. Dr. Atik Krustiyati, SH., MS. adalah dosen Hukum Internasional,
Fakultas Hukum Universitas Surabaya (Ubaya).
[6]Titik Juniati Ismaniar dan Gede Marhaendra Wija
Atmadja, Penerapan “Prinsip Non
Refoulement” Terhadap Pengungsi Dalam Negara yang Bukan Merupakan
Peserta Konvensi Mengenai Status Pengungsi Tahun 1951, Bagian Hukum
Internasional Fakultas Hukum Universitas Udayana, hlm.4.
[7]Jeremia Suluh
Kaos Tampubolon, Abdul Rahman, dan Chairul Bariah, Perlindungan dan Penegakan HAM
di ASEAN Terhadap Manusia Perahu Rohingya Dalam Status Sebagai Pengungsi
Menurut Hukum Internasional,
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, hlm.16.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar