Istilah
‘non-refoulement’ berasal dari bahasa
Perancis ‘refouler’ yang berarti
‘memaksa kembali’atau ‘mengusir/ menolak’. Istilah refoulement tidak sama dengan sebutan expulsion (pengusiran) atau deportation
(pengembalian ke negara asal).[1] Goodwil-Gill
menjelaskan, pada awal pertengahan abad 19, konsep suaka dan prinsip ‘non-extradition’ hanya sebatas
pelanggaran politik. Ia (Goodwil-Gill) mencatat setidaknya setelah perang Dunia
Pertama, praktik internasional mulai menerima gagasan ‘non-return’.[2] Baru
tahun 1933, demikian Goodwil-Gill, terdapat referensi pertama prinsip pengungsi
(internasional) yang menyebutkan ‘should
not be returned to their country of origin’ dalam instrumen
internasional. Hal itu ditegaskan pada Pasal 3 Convention relating to the International Status of Refugees. Bunyi
lengkapnya sebagai berikut: “Each of the
Contracting Parties undertakes not to remove or keep from its territory by
application of police measures, such as expulsions (pengusiran) or non-admittance (tidak diberikannya
izin masuk) at the frontier (refoulement),
refugees who have been authroised to reside there regularly, unless the said
measures are dictated by reasons of national security or public order”.
Namun pada Pasal tersebut masih terdapat pengecualian apabila melanggar ‘national
security’ atau ‘public
order’.[3]
Pengaturan
mengenai pengungsi (internasional) di Jerman di tahun 1936 dan tahun 1938 juga
memuat pembatasan pengaturan mengenai hal ‘expulsion’
atau ‘return (pengembalian/
pemulangan)’. Aturan membolehkan atau mengijinkan para negara pihak dalam perjanjian untuk
melakukan expulsion’ atau ‘return’ hanya dengan pertimbangan atau
alasan ‘for reasons of national security
atau public order’.[4] Pada era ini pada skala internasional lebih
fokus pada pengembangan pengaturan administratif untuk memfasilitasi resettlement (perpindahan) dan relieve (bantuan) pada pemohon suaka.
Kebutuhan terhadap prinsip-prinsip perlindungan bagi pengungsi mulai muncul.
Namun demikian pengaturannya masih terbatas. Instrumen-instrumen yang
mengaturnya masih mengaturnya secara samar atau kurang tegas.
[1]Guys S.
Goodwil-Gill, 1998, The Refugee in
International Law, Clarendon Press, hlm.117.
[2] Ibid, hlm.118.
[3]Goodwil-Gill menyebutkan hanya 8
negara yang meratifikasi 1933 relating to
the International Status of Refugees. Terdapat 3 negara melakukan
reservasi. Inggris keberatan terutama dengan ‘Principle non-rejection at the frontier’. Ibid,
hlm.118.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar