Senin, 30 Desember 2013

EVOLUSI PRINSIP ‘NON-REFOULEMENT’ (1)



Istilah ‘non-refoulement’ berasal dari bahasa Perancis ‘refouler’ yang berarti ‘memaksa kembali’atau ‘mengusir/ menolak’. Istilah refoulement tidak sama dengan sebutan expulsion (pengusiran) atau deportation (pengembalian ke negara asal).[1] Goodwil-Gill menjelaskan, pada awal pertengahan abad 19, konsep suaka dan prinsip ‘non-extradition’ hanya sebatas pelanggaran politik. Ia (Goodwil-Gill) mencatat setidaknya setelah perang Dunia Pertama, praktik internasional mulai menerima gagasan ‘non-return’.[2] Baru tahun 1933, demikian Goodwil-Gill, terdapat referensi pertama prinsip pengungsi (internasional) yang menyebutkan ‘should not be returned to their country of origin’ dalam instrumen internasional. Hal itu ditegaskan pada Pasal 3 Convention relating to the International Status of Refugees. Bunyi lengkapnya sebagai berikut: “Each of the Contracting Parties undertakes not to remove or keep from its territory by application of police measures, such as expulsions (pengusiran) or non-admittance (tidak diberikannya izin masuk) at the frontier (refoulement), refugees who have been authroised to reside there regularly, unless the said measures are dictated by reasons of national security or public order”. Namun pada Pasal tersebut masih terdapat pengecualian apabila  melanggar ‘national security atau public order’.[3]

Pengaturan mengenai pengungsi (internasional) di Jerman di tahun 1936 dan tahun 1938 juga memuat pembatasan pengaturan mengenai hal ‘expulsion’ atau ‘return (pengembalian/ pemulangan)’. Aturan membolehkan atau mengijinkan  para negara pihak dalam perjanjian untuk melakukan expulsion’ atau ‘return’ hanya dengan pertimbangan atau alasan ‘for reasons of national security atau public order’.[4]  Pada era ini pada skala internasional lebih fokus pada pengembangan pengaturan administratif untuk memfasilitasi resettlement (perpindahan) dan relieve (bantuan) pada pemohon suaka. Kebutuhan terhadap prinsip-prinsip perlindungan bagi pengungsi mulai muncul. Namun demikian pengaturannya masih terbatas. Instrumen-instrumen yang mengaturnya masih mengaturnya secara samar atau kurang tegas.



[1]Guys S. Goodwil-Gill, 1998, The Refugee in International Law, Clarendon Press, hlm.117.
[2] Ibid, hlm.118.
[3]Goodwil-Gill menyebutkan hanya 8 negara yang meratifikasi 1933 relating to the International Status of Refugees. Terdapat 3 negara melakukan reservasi. Inggris keberatan terutama dengan ‘Principle non-rejection at the frontier’.  Ibid, hlm.118.
[4]Ibid, hlm.118.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar