EVOLUSI PRINSIP ‘NON-REFOULEMENT’
(2)
Sebagaimana
telah disajikan dalam tulisan Evolusi Prinsip ‘Non-Refoulement’ Bagian (1), istilah
‘non-refoulement’ Pengaturan masih
sangat samar dan kurang tegas. Hal
tersebut dapat dipahami karena saat itu lebih fokus pada pengembangan
pengaturan administratif untuk memfasilitasi resettlement (perpindahan) dan relieve
(bantuan) pada pemohon suaka. Namun demikian, periode tersebut terjadi hal yang
luar biasa. Sejumlah besar pengungsi tidak ‘sent
back to their country to their countries of origin’ terutama pengungsi yang
melarikan diri dari Eks negara Uni Sovyet setelah terjadinya revolusi, negara
Spanyol, Jerman, atau Kekaisaran Ottoman.[1]
Guys
S. Goodwil-Gill mencatat bahwa sesudah Perang Dunia Kedua, merupakan suatu era
baru dimulai. Bulan Februari 1946, Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) secara
tegas menolak adanya keberatan dari negara-negara terhadap konsep ‘returning to their country origin’.[2] Tahun
1949, United Nations Economic and Social Council (ECOSOC) menetapkan Komite Ad
Hoc untuk merevisi Convention relating to
the International Status of Refugee
and Stateless Person. Komite Ad Hoc telah mengadakan pertemuan dua kali di
New York (bulan Januari-Februari dan bulan Agustus tahun 1950) serta menyusun
ketentuan berikut dengan pertimbangan yang fundamental, diusulkan:
“No contracting State shall expel (mengusir) or return (memulangkan/
mengembalikan) a refugee in any manner
whatsoever to the frontiers of territories where his life or freedom would be
threatened on account of his race, religion, nationality or political opinion”[3]
Selama
kurun waktu tersebut, banyak negara-negara menolak dengan pencantuman hak yan
diberikan kepada pemohon suaka sebagaimana di-draft-kan di atas, maupun yang
dicantumkan dalam Universal Declaration
of Human Rights tahun 1948 maupun Konvensi tentang Pengungsi tahun 1951.
Pada Konferensi tentang Pengungsi secara nyata ditegaskan mengenai ke-absolut-an
dari non-refoulement. Hal itu dinyatakan
dalam draft Pasal 33 Konvensi Pengungsi
1951:
“The
benefit of the present provision may not, how ever, be claimed by a refugee
whom there are reasonable grounds for regarding as a danger to the security of
the country in which he is, or who, having been convicted by final judgment of
a particularly serious crime, constitutes a danger to the community of that
country”.
Draft
pasal tersebut di atas, selain dari ‘situasi yang dikecualikan’ para perancang
Konvensi Pengungsi 1951 secara jelas memiliki maksud untuk menyatakan bahwa
pengungsi ‘tidak bisa dipulangkan atau dikembalikan’ ke negara asalnya atau
negara lain, dimana, akan memiliki resiko yang membahayakan nyawa para
pengungsi tersebut.[4]
(Bersambung)