Senin, 30 Desember 2013

EVOLUSI PRINSIP ‘NON-REFOULEMENT’ (2)



EVOLUSI PRINSIP ‘NON-REFOULEMENT’ (2)
Sebagaimana telah disajikan dalam tulisan Evolusi Prinsip ‘Non-Refoulement’ Bagian (1), istilah ‘non-refoulement’ Pengaturan masih sangat  samar dan kurang tegas. Hal tersebut dapat dipahami karena saat itu lebih fokus pada pengembangan pengaturan administratif untuk memfasilitasi resettlement (perpindahan) dan relieve (bantuan) pada pemohon suaka. Namun demikian, periode tersebut terjadi hal yang luar biasa. Sejumlah besar pengungsi tidak  sent back to their country to their countries of origin’ terutama pengungsi yang melarikan diri dari Eks negara Uni Sovyet setelah terjadinya revolusi, negara Spanyol, Jerman, atau Kekaisaran Ottoman.[1]

Guys S. Goodwil-Gill mencatat bahwa sesudah Perang Dunia Kedua, merupakan suatu era baru dimulai. Bulan Februari 1946, Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) secara tegas menolak adanya keberatan dari negara-negara terhadap konsep ‘returning to their country origin’.[2] Tahun 1949, United Nations Economic and Social Council (ECOSOC) menetapkan Komite Ad Hoc untuk merevisi Convention relating to the International Status of Refugee and Stateless Person. Komite Ad Hoc telah mengadakan pertemuan dua kali di New York (bulan Januari-Februari dan bulan Agustus tahun 1950) serta menyusun ketentuan berikut dengan pertimbangan yang fundamental, diusulkan:
No contracting State shall expel (mengusir) or return (memulangkan/ mengembalikan) a refugee in any manner whatsoever to the frontiers of territories where his life or freedom would be threatened on account of his race, religion, nationality or political opinion[3]
Selama kurun waktu tersebut, banyak negara-negara menolak dengan pencantuman hak yan diberikan kepada pemohon suaka sebagaimana di-draft-kan di atas, maupun yang dicantumkan dalam Universal Declaration of Human Rights tahun 1948 maupun Konvensi tentang Pengungsi tahun 1951. Pada Konferensi tentang Pengungsi secara nyata ditegaskan mengenai ke-absolut-an dari non-refoulement. Hal itu dinyatakan dalam  draft Pasal 33 Konvensi Pengungsi 1951:
“The benefit of the present provision may not, how ever, be claimed by a refugee whom there are reasonable grounds for regarding as a danger to the security of the country in which he is, or who, having been convicted by final judgment of a particularly serious crime, constitutes a danger to the community of that country”.
Draft pasal tersebut di atas, selain dari ‘situasi yang dikecualikan’ para perancang Konvensi Pengungsi 1951 secara jelas memiliki maksud untuk menyatakan bahwa pengungsi ‘tidak bisa dipulangkan atau dikembalikan’ ke negara asalnya atau negara lain, dimana, akan memiliki resiko yang membahayakan nyawa para pengungsi tersebut.[4] (Bersambung)


[1]Guys S. Goodwil-Gill, 1998, The Refugee in International Law, Clarendon Press, hlm.119.
[2] Ibid.
[3]UN doc. E/1850, draft dikutif dari Guys S. Goodwil-Gill, 1998, The Refugee in International Law, Clarendon Press, hlm.120.
[4]Ibid.

EVOLUSI PRINSIP ‘NON-REFOULEMENT’ (1)



Istilah ‘non-refoulement’ berasal dari bahasa Perancis ‘refouler’ yang berarti ‘memaksa kembali’atau ‘mengusir/ menolak’. Istilah refoulement tidak sama dengan sebutan expulsion (pengusiran) atau deportation (pengembalian ke negara asal).[1] Goodwil-Gill menjelaskan, pada awal pertengahan abad 19, konsep suaka dan prinsip ‘non-extradition’ hanya sebatas pelanggaran politik. Ia (Goodwil-Gill) mencatat setidaknya setelah perang Dunia Pertama, praktik internasional mulai menerima gagasan ‘non-return’.[2] Baru tahun 1933, demikian Goodwil-Gill, terdapat referensi pertama prinsip pengungsi (internasional) yang menyebutkan ‘should not be returned to their country of origin’ dalam instrumen internasional. Hal itu ditegaskan pada Pasal 3 Convention relating to the International Status of Refugees. Bunyi lengkapnya sebagai berikut: “Each of the Contracting Parties undertakes not to remove or keep from its territory by application of police measures, such as expulsions (pengusiran) or non-admittance (tidak diberikannya izin masuk) at the frontier (refoulement), refugees who have been authroised to reside there regularly, unless the said measures are dictated by reasons of national security or public order”. Namun pada Pasal tersebut masih terdapat pengecualian apabila  melanggar ‘national security atau public order’.[3]

Pengaturan mengenai pengungsi (internasional) di Jerman di tahun 1936 dan tahun 1938 juga memuat pembatasan pengaturan mengenai hal ‘expulsion’ atau ‘return (pengembalian/ pemulangan)’. Aturan membolehkan atau mengijinkan  para negara pihak dalam perjanjian untuk melakukan expulsion’ atau ‘return’ hanya dengan pertimbangan atau alasan ‘for reasons of national security atau public order’.[4]  Pada era ini pada skala internasional lebih fokus pada pengembangan pengaturan administratif untuk memfasilitasi resettlement (perpindahan) dan relieve (bantuan) pada pemohon suaka. Kebutuhan terhadap prinsip-prinsip perlindungan bagi pengungsi mulai muncul. Namun demikian pengaturannya masih terbatas. Instrumen-instrumen yang mengaturnya masih mengaturnya secara samar atau kurang tegas.



[1]Guys S. Goodwil-Gill, 1998, The Refugee in International Law, Clarendon Press, hlm.117.
[2] Ibid, hlm.118.
[3]Goodwil-Gill menyebutkan hanya 8 negara yang meratifikasi 1933 relating to the International Status of Refugees. Terdapat 3 negara melakukan reservasi. Inggris keberatan terutama dengan ‘Principle non-rejection at the frontier’.  Ibid, hlm.118.
[4]Ibid, hlm.118.

NON-REFOULEMENT TUDAK SAMA DENGAN EXPULSION ATAU DEPORTATION



Istilah non-refoulement berasal dari bahasa Perancis ‘refouler’ yang berarti ‘memaksa kembali’atau mengusir/ menolak.[1]Istilah refoulement tidak sama dengan sebutan expulsion (pengusiran) atau deportation (pengembalian ke negara asal).


[1]Guys S. Goodwil-Gill, 1998, The Refugee in International Law, Clarendon Press, hlm.117.

Jumat, 27 Desember 2013

PEREMPTORY NORMS (JUS COGENS): Perspektif Teori-Teori Hukum yang Positivistik



PEREMPTORY NORMS (JUS COGENS):
Perspektif Teori-Teori Hukum yang Positivistik

Peremptory Norms (jus cogens)’ dalam perspektif positivistik lebih ditekankan pada ‘persetujuan negara-negara’. Persyaratan persetujuan negara merupakan justifikasi dasar bahwa negara secara independen berdaulat dan otonom. Oleh karena itu, demikian dinyatakan  Evan J. Criddle & Evan Fox Decent dengan merujuk pada pendapat Genady M. Danilenko dan Georg Schwarzenberger, negara tidak dapat terikat norma-norma yang tidak pernah disetujuinya.[1] Criddle dan Decent mengutip Christos L. Rozakis, teori-teori hukum yang bersifat positivistik atau pendekatan yang berbasis pada persetujuan negara, norma-norma internasional mencapai status ‘peremptory norm’ jika melalui proses legislasi yang kemudian akan menghasilkan hukum internasional seperti pada umumnya terjadi. Secara spesifiknya, negara menyetujui suatu ‘peremptory norm’ melalui suatu kodifikasi ke dalam norma pada suatu perjanjian internasional. Status ‘peremptory norm’ diterima sebagai hukum kebiasaan internasional, atau menggunakan norma-norma ‘peremptory norm’ tersebut secara domestik sebagai prinsip-prinsip hukum umum.[2]


[1]Genady M. Danilenko menulis artikel International Jus Cogens: Issues of Law Making, dimuat dalam European Journal International Law, 42, 53 (1991). Georg Schwarzenberger menulis artikel, International Jus Cogens, dimuat dalam Texas Law Review, 455, 467 (1965). Lihat, Evan J. Criddle & Evan Fox Decent, A Fiduciary Theory of Jus Cogens, artikel dimuat dalam Yale Journal of International Law, Vol. 34, 2009, hlm.339.
[2]Christosn L. Rizakis tahun 1961 menerbitkan bukunya berjudul The Concept of Jus Cogens in the Law of Treaties, hlm.76. Lihat,  Evan J. Criddle & Evan Fox Decent, A Fiduciary Theory of Jus Cogens, artikel dimuat dalam Yale Journal of International Law, Vol. 34, 2009, hlm.339.