Selasa, 17 Juni 2014

Jus Cogens

Jus Cogens
Pencantuman Jus Cogens atau Peremptory norms of international law dalam Program Kerja International Law Commission (ILC)[1] perlu mendapat catatan penting, khususnya terkait dengan pernyataan “Suatu Negara tidak boleh mengurangi/menyimpang dari suatu perjanjian (No State may derogate by agreement or otherwise)”. Pencantuman Jus Cogens atau Peremptory norms of international law pertama kali terdapat dalam the 1969 Vienna Convention on the Law of Treaties. Sejak pencantuman  Jus Cogens pada Konvensi Wina 1969 tersebut, sebagaimana disebutkan Jacovides, masih belum terdapat suatu standar  (no authoritative standards) yang baku/pasti. Kepastian khususnya tentang ‘konten hukum yang eksak (the exact legal contens)’ dari jus cogens, atau suatu proses/ cara dimana norma hukum internasional menghadirkan atau menjadikannya sesuatu sebagai jus cogens.
Disebutkan Jacovides, ketika jus cogens sering diperdebatkan di Perserikan Bangsa Bangsa (PBB), termasuk didalamnya Dewan Keamanan PBB menjadikannya konsep jus cogens ini menjadi objek studi yang mendalam bagi para ahli hukum bahkan juga disinggung dalam persidangan International Court of Justice (ICJ) dan menjadi bahan perdebatan pula pada penyusunan draf  Konvensi State Responsibility serta Code of Crime against the Peace and Security of Mankind. Pada peristiwa-peristiwa di atas, pembahasan tentang jus cogens tidak hanya semata-mata apakah itu jus cogens dan dimana jus cogens ditemukan. Perdebatan khusus juga terjadi terkait dengan Pasal 2, Ayat 4, Piagam PBB tentang prinsip larangan penggunaan kekuatan bersenjata dalam hubungan internasional yang dianggap sebagai jus cogens. Hal ini semakin mengeskan bahwa dalam perdebatan-perdebatan mengasumsikan bahwa diperlukan suatu batasan dan parameter yang baku tentang jus cogens.  Hal itu tetap masih berulang kembali dikemudian hari pasca Konvensi Wina 1969 yakni saat lahirnya the 1986 Vienna Convention on the Law of Treaties between States and International Organizations or between International Organization.



[1] Andreas Jacovides, Jus Cogens, dimuat dalam Programme, Procedures and Working Methods of the Commission, and Its Documentation, Extract from the Yearbook of International Law Commission, 1993 Vol. II (1), hlm.213.

Minggu, 12 Januari 2014

MAKNA “I HAVE A RIGHT TO ...” MENURUT H.L.A. HART



MAKNA “I HAVE A RIGHT TO ...” MENURUT H.L.A. HART

Hart mengamati secara cermat ungkapan “Saya memiliki hak untuk...” digunakan dalam dua konteks. Pertama, ketika ‘yang menuntut’ memiliki pembenaran (justifikasi) khusus atas gangguan, dengan kebebasan lain, yang orang lain tidak memilikinya. Kedua, ketika ‘yang menuntut’ menolak atau berkeberatan terhadap gangguan yang dilakukan oleh orang lain yang tidak memiliki dasar pembenar.[1]



[1] H.A.L. Hart, 1955, “Are There Any Natural Rights, dimuat dalam Jurnal Philosophical Review, hlm.183. Bahan dikutip dari Carl Wellman, A Theory of Rights: Person Under Laws, Institutions, and Morals, Rowman & Allaheld, hlm.10.


H.L.A. HART DAN KARYANYA TENTANG HAK



H.L.A. HART DAN KARYANYA TENTANG HAK
Herbert Lionel Adolphus (H.L.A.) Hart setidaknya menuangkan enam tulisan terkait ‘hak’.[1] Pertama, tahun 1953 ia menerbitkan bukunya, Definition and Theory in Jurisprudence yang diterbitkan oleh The Clarendon Press. Kedua, artikel yang ditulisnya tahun 1955 berjudul “Are There Any Natural Rights, dimuat dalam Jurnal Philosophical Review 64: 179-91. Ketiga, artikel yang diterbitkan tahun 1958 berjudul “Legal and Moral Obligation” dimuat dalam Essays in Moral Philosophy yang diedit oleh A.I. Meldon, University of Washington Press. Keempat, tahun 1961 Hart menerbitkan bukunya berjudul The Concept Law yang diterbitkan The Clarendon Press. Kelima, tahun 1962 menulis makalah berjudul “Bentham, Lecture on a Master Mind” Proceedings of the British Academy 48:297-320. Keenam, tahun 1973 ditulis artikel berjudul “Bentham on Legal Rights” dimuat dalam “Oxford Essays in Jurisprudence” diedit oleh A.W.B. Simpson, 171-201, The Clarendon Press.


[1]Carl Wellman, A Theory of Rights: Person Under Laws, Institutions, and Morals, Rowman & Allaheld, hlm.221.

Sabtu, 11 Januari 2014

MEMBACA PEMIKIRAN WESLEY NEWCOMB HOHFELD MELALUI BUKU CARL WELLMAN (1)



MEMBACA PEMIKIRAN WESLEY NEWCOMB HOHFELD
MELALUI BUKU CARL WELLMAN
(1)
Saya pernah diminta menginventarisir seputar pemikiran Wesley Newcomb Hohfeld tentang ‘hak’.[1] Pemikiran Hohfeld dapat dibaca dalam buku karya Carl Wellman yang terbit tahun 1985.[2] Wellman merupakan sorang profesor filsafat di Universitas Washinton, St Louis. Ia dalam bukunya mencoba lima hal pokok terkait hak.[3] Pertama, apakah hak itu? Kedua, bagaimana dapat seseorang mengetahui bahwa apa yang dinyatakannya itu benar-benar sungguh merupakan hak? Ketiga, Apakah jika keberadaan beberapa hak yang spesifik telah ditetapkan, bagamaina manusia mengikutinya dalam bertingkah laku? Keempat, jenis atau macam keadaan apa untuk dapat dikatakan hak? Kelima, Apakah (jika ada), seberapa pentingkah hak itu?

Dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas,  Wellman menggunakan konsep pemikiran Hohfeld. Hal tersebut bukan tanpa sebab karena (sebagaimana dinyatakannya sendiri) bahwa Wellman hanya seorang ahli filsafat moral. Ia menyadari bahwa dirinya tidak dilatih secara khusus di bidang hukum.[4] Wesley Newcomb Hohfeld, demikian Wellman, memberikan kontribusi dalam lima hal. Pertama, konsepsi hukum fundamental Hohfeld berhasil membersihkan ambiguitas tulisan-tulisan yang berkaitan dengan hak yang ada pada waktu itu. Hohfeld dapat menjelaskan secara rinci dan teliti sekali pengujian penggunaan ungkapan tersebut sebagaimana terjadi, baik pada putusan pengadilan maupun yang disajikan dalam literatur buku-buku hukum. Ia membedakan antara hak (claim), hak khusus (privilege), wewenang (power), kebebasan (immunity). Hal demikian dapat menghindari kebingungan konseptual.[5] Secara tajam Hohfeld membedakan empat macam konsepsi hukum fundamental, dengan memberinya contoh:[6]

(1)   X has a legal claim against Y with respect to some action if and only if Y has a legal duty to X to perform that action”.

(2)   X has a legal privilege  in face of Y to perform some  action if and only if X has no legal duty to Y to refrain from doing that action.

(3)   “X has a legal power over Y with respect to some legal relation if and only if X is able to perform some action that changes this legal relation of Y in some way”.

(4)   “X has a legal immunity from Y with respect to some legal relation if and only if Y is unable to perform any action that would change this legal relation of X”

(Bersambung...)



[1]Pemikiran Wesley Newcomb Hohfeld disajikan dalam buku berjudul Fundamental Legal Conceptions yang diterbitkan New Haven, Yale University tahun 1919. Lihat daftar pustaka buku Carl Wellman, A Theory of Rights: Person Under Laws, Institutions, and Morals, Rowman & Allaheld, hlm.221.
[2]Judul lengkap Buku Carl Wellman adalah A Theory of Rights: Person Under Laws, Institutions, and Morals.
[3]Carl Wellman, 1985, A Theory of Rights: Person Under Laws, Institutions, and Morals, Rowman & Allaheld, hlm. 1-2.
[4]Ibid, hlm.5.
[5]Ibid, hlm.8.
[6]Ibid.

MODEL HART


MODEL HART
Carl Wellman mengutip model dari Hart’s General Theory, sebagai berikut  “seseorang untuk melihat lebih di atas pagar kebunnya tetangganya..... Kebun adalah sesuatu area dalam yang terbatas,  membuat seseorang yang leluasa untuk bergerak sebagaimana apa yang ia kehendaki.[1]



[1]Carl Wellman, 1985, A Theory of Rights: Persons Under Laws, Institution and Morals, Rowman & Allanheld, hlm.61-62.

Jumat, 03 Januari 2014

SELAMAT TAHUN BARU 2014




SELAMAT TAHUN BARU 2014

Mengisi tahun ini dengan lebih berarti,
dan pasti jadi doktor
Amin

Senin, 30 Desember 2013

EVOLUSI PRINSIP ‘NON-REFOULEMENT’ (2)



EVOLUSI PRINSIP ‘NON-REFOULEMENT’ (2)
Sebagaimana telah disajikan dalam tulisan Evolusi Prinsip ‘Non-Refoulement’ Bagian (1), istilah ‘non-refoulement’ Pengaturan masih sangat  samar dan kurang tegas. Hal tersebut dapat dipahami karena saat itu lebih fokus pada pengembangan pengaturan administratif untuk memfasilitasi resettlement (perpindahan) dan relieve (bantuan) pada pemohon suaka. Namun demikian, periode tersebut terjadi hal yang luar biasa. Sejumlah besar pengungsi tidak  sent back to their country to their countries of origin’ terutama pengungsi yang melarikan diri dari Eks negara Uni Sovyet setelah terjadinya revolusi, negara Spanyol, Jerman, atau Kekaisaran Ottoman.[1]

Guys S. Goodwil-Gill mencatat bahwa sesudah Perang Dunia Kedua, merupakan suatu era baru dimulai. Bulan Februari 1946, Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) secara tegas menolak adanya keberatan dari negara-negara terhadap konsep ‘returning to their country origin’.[2] Tahun 1949, United Nations Economic and Social Council (ECOSOC) menetapkan Komite Ad Hoc untuk merevisi Convention relating to the International Status of Refugee and Stateless Person. Komite Ad Hoc telah mengadakan pertemuan dua kali di New York (bulan Januari-Februari dan bulan Agustus tahun 1950) serta menyusun ketentuan berikut dengan pertimbangan yang fundamental, diusulkan:
No contracting State shall expel (mengusir) or return (memulangkan/ mengembalikan) a refugee in any manner whatsoever to the frontiers of territories where his life or freedom would be threatened on account of his race, religion, nationality or political opinion[3]
Selama kurun waktu tersebut, banyak negara-negara menolak dengan pencantuman hak yan diberikan kepada pemohon suaka sebagaimana di-draft-kan di atas, maupun yang dicantumkan dalam Universal Declaration of Human Rights tahun 1948 maupun Konvensi tentang Pengungsi tahun 1951. Pada Konferensi tentang Pengungsi secara nyata ditegaskan mengenai ke-absolut-an dari non-refoulement. Hal itu dinyatakan dalam  draft Pasal 33 Konvensi Pengungsi 1951:
“The benefit of the present provision may not, how ever, be claimed by a refugee whom there are reasonable grounds for regarding as a danger to the security of the country in which he is, or who, having been convicted by final judgment of a particularly serious crime, constitutes a danger to the community of that country”.
Draft pasal tersebut di atas, selain dari ‘situasi yang dikecualikan’ para perancang Konvensi Pengungsi 1951 secara jelas memiliki maksud untuk menyatakan bahwa pengungsi ‘tidak bisa dipulangkan atau dikembalikan’ ke negara asalnya atau negara lain, dimana, akan memiliki resiko yang membahayakan nyawa para pengungsi tersebut.[4] (Bersambung)


[1]Guys S. Goodwil-Gill, 1998, The Refugee in International Law, Clarendon Press, hlm.119.
[2] Ibid.
[3]UN doc. E/1850, draft dikutif dari Guys S. Goodwil-Gill, 1998, The Refugee in International Law, Clarendon Press, hlm.120.
[4]Ibid.